Kala itu, mendung kelabu
Bukan, Bukan kelabu, tapi hitam,pekat
Saat itu dunia ku runtuh
Hancur tak bersisa
Pedih, bagai disayat sembilu
Sesak ,bagai berliter-liter air memenuhi paru-paru ku
Tak ada pamit yang ia ucap
Meninggalkan aku bersama sang pekat
Menghempaskan ku ke dasar jurang
Kadang aku bertanya, kenapa Ia Tuhan?
Kenapa Ibuku yang kau ambil?
Padahal saat itu aku sedang berjuang untuk memberikannya senyum saat aku berhasil menyandang gelar sarjana
Meneruskan impian dan cita-citanya
Setapak berlalu, menangis aku sendiri
Aku bersimpuh di atas bumi yang terasa kosong
Mengapa aku Tuhan?
Mengapa aku yang kau pilih menanggung dan merasakan luka ini ?
Cahaya ku telah pergi, duniaku gelap gulita
Bertahun-tahun aku menyembuhkan luka
Mengumpulkan serpihan hati yang coba ku rekatkan dengan lem
Berhasilkah? Ya berhasil menempel, namun masih menampilkan guratan-guratan yang takkan hilang, berbekas hingga akhir
Kini rinduku menggunung Tuhan
Ku tabung rindu ini, berharap mendapatkan bunga dari tabungan ku
Yang akan ku gunakan untuk mengikis pilu…