Kenapa Mau Jadi Guru? [Refleksi Hari Guru Nasional 2021]

Oleh:

Bhayu Sulistiawan, S.Pd.I.

(Direktur Pendidikan Sekolah Islam mentari Indonesia)

Mari mengenang jasa guru-guru kita…

Geliat kebanggaan dengan profesi guru itu nampak setiap masuk tanggal 25 November yang diperingati sebagai HUT (PGRI) atau Hari Guru dimana banyak sekolah dan guru-gurunya menjalankan upacara untuk menghormati jasa para guru. Sebagian berseragam khas batik paduan warna hitam putih – yang katanya melambangkan tinta dan buku – memenuhi lapangan dan arena-arena sekolah untuk melaksanakan upacara. Apalagi jaman sekarang guru bukanlah pekerjaan yang dipandang sebelah mata seperti dulu. “Jangan nikah sama guru, kamu nanti susah, mau dikasih makan apa nanti…”, “jangan jadi guru, gajinya kecil, cari aja pekerjaan yang lain yang lebih enak….”. Begitulah kira-kira mendengar cerita beberapa guru-guru sepuh yang sudah lama mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Statement seperti itu sering muncul di jaman dahulu dimana profesi guru masih dipandang sebelah mata. Tendensinya sederhana, karena penghasilannya kecil. Begitulah alasan orang tua dulu kalau berpesan kepada anak gadisnya yang mau menikah agar tidak dengan lelaki yang berprofesi sebagai guru, atau kepada puteranya yang ingin mencari pekerjaan untuk tidak bekerja sebagai guru. Lalu, kenapa saya mau jadi guru?

Bukan sebuah ketidaksengajaan bagi saya untuk memilih profesi sebagai guru sebagaimana banyak guru yang memilih jalur pengabdiannya karena keterpaksaan. Ya, saya sudah meniatkan jadi guru sejak SD, tepatnya kelas 6. Kala itu saya melihat sosok guru saya (wali kelas) di kelas 6 yang begitu semangat, bersahaja, sabar dan telaten mengabdi tanpa embel-embel tunjangan apalagi sertifikasi (karena dahulu belum ada). Bahkan gaji pun masih tergolong kecil pada masa itu, padahal SD tersebut terbilang SDN Percontohan di wilayah timur Jakarta. Guru saya tersebut hari-harinya hanya memikirkan bagaimana keadaan belajar murid-muridnya hari ini. Di akhir-akhir kelulusan saya berinisiatif bersama teman-teman untuk mengadakan belajar tambahan (jaman sekarang istilahnya les). Kegiatan itu kami adakan seperti arisan yaitu bergiliran di rumah teman-teman yang ikut les, guru kami pun tak kenal lelah untuk singgah ke rumah muridnya yang ikut les untuk memberikan pengajaran.

Begitu melekatnya ingatan saya tentang guru kelas 6 saya itu sampai pada suatu hari setelah bertahun-tahun tidak bertemu akhirnya kami dipertemukan di suatu pool bus daerah pondok ungu Bekasi. Saat itu saya hendak berangkat ke Jogja setelah mengisi liburan kuliah di rumah. Sambil menunggu bus berangkat saya shalat maghrib di musholla pool bus tersebut. Saya lihat nampak seorang bapak-bapak tinggi (jangkung) dengan rambut klimis dan jambang agak mengurai hampir ke pinggir dagu sudah lebih dulu takbiratul ihram. Ciri-ciri itu persis dengan guru kelas 6 saya. Oya, dari tadi saya belum kasih tau namanya. Pak Mujimin, panggilannya pak Min, dialah guru inspiratory bagi saya.

Setelah saya mencolek bahu beliau sebagai tanda untuk menjadikannya imam dalam shalat kami pun berjama’ah. Saat selesai berjama’ah saya masih penasaran, saya tatap sosok itu dari samping lalu saya perhatikan persis dengan pak Min. Selesai beliau berdoa saya langsung mengajaknya salaman sambil menanyakan, “pak Min ya..? SDN 04?”. Beliau pun menjawab dengan tegas, “Ya benar”, sambil mengeratkan jabat tangan kami. Saya pun langsung mencium tangannya dan memberitahukan bahwa saya muridnya dulu waktu di kelas 6 SDN 04. Dengan sedikit mengingat (maklum karena sudah lama tak bertemu) akhirnya beliau mampu mengingat saya bahkan sampai mengingat dulu saya pernah kena hukuman lari mengitari lapangan sekolah karena saya tidak menjalankan tugas sebagai ketua kelas. Wah, benar-benar ingatan yang kuat.

Kami pun mengobrol seputar diri kami masing-masing. Saat itu saya ceritakan kepada pak Min sekarang saya sedang kuliah di Jogja di jurusan pendidikan dan sudah mencita-citakan profesi guru sejak di bangku kelas 6 ingin mengikuti jejak teladan pak Min. Beliau pun nampak terharu mendengarnya. Berkat kegigihan dan keuletannya pak Min mengabarkan bahwa dia sudah menjadi kepala sekolah di sekolah tempat pengabdiannya yang masih sama dari dulu. Subhanallah, dalam hati saya bergumam, bapak memang pantas mendapatkan itu. Profesionalitasmu saya saksikan dengan lintasan sejarah saya belajar di SD, padahal dulu belum ada sertifikasi dan hingar bingar tunjangan guru lainnya.

Pak Min pun menceritakan keberadaannya di pool bus itu untuk mengantarkan isterinya pulang ke kampung yang ternyata kampungnya pak Min dan isterinya itu di Jogja. Maa syaa Allah,, sungguh pertemuan yang tak disangka dan kecocokan yang tak diperkirakan pula. Sayang perbincangan hangat kami sambil memorian itu harus terhenti saat kami mendengar pengumuman dari petugas pool bus bahwa armada jurusan Bekasi-Jogja akan berangkat. Saya pun bergegas menyalami pak Min untuk pamit dan tak lupa memohon doa agar kelak diberkahi menjalankan profesi guru seperti pak Min.

Sambil mengantar isteri pak Min dan saya menuju pintu bus beliau pun mendoakan saya sebagaimana permintaan saya sambil menyemangati agar kuliah saya tidak terlalu lama. Satu bait doa beliau yang saya masih ingat, “Semoga Allah menjadikan mas Bhayu sebagai guru terbaik bagi murid-muridnya dan di kehidupan yang luas”. Pendek namun dalam maknanya, pak Min bukan hanya mendoakan saya jadi guru di sekolah tapi di kehidupan luas untuk murid-murid saya, bukan hanya di universitas tapi sampai universalitas lini kehidupan. Inilah yang terus saya coba lakukan, saya tidak hanya menerima pelajaran, pertanyaan, sanggahan, kritik dan saran dari murid saat di sekolah melainkan sampai di rumah, dimanapun mereka butuh saya maka insya Allah saya penuhi.

Di akhir perjumpaan kami itu beliau pun memberi statement spiritual yang tidak bisa saya lupakan juga, dalam nadanya yang khas logat Jogja beliau sampaikan: “mas Bhayu, mengajarlah sebagaimana nabi mengajarkan kita. Karena saya pun mengajarkan kamu dan teman-teman sejatinya mencontoh nabi Muhammad SAW”. Sudah tak terasa bagaimana harunya saya di malam itu. Sejak saat itu kami pun jadi sering komunikasi lagi.

Sekarang, dalam usia 76 kemerdekaan dan Hari Guru alhamdulillah saya bisa memenuhi cita-cita saya sebagai guru sejak lulus kuliah juga dengan pengalaman yang masih muda. Masih harus banyak belajar. Selanjutnya apakah saya bisa mengikuti teladan nabi dan guru-guru kami yang hebat dan inspiratif itu? Lintasan waktu dan pengalaman yang akan menjawabnya. Semoga di hari guru ini kita semua semakin mantap dan teguh, kokoh dan konsisten dalam menjalankan profesi guru serta mencintai profesi guru. Semata-mata mengajar dan mendidik dengan hati untuk mencetak generasi robbani-ulul albab. Sebagaimana tema Hari Guru Nasional 2021 dari Kemendikbud yaitu “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”.

Terima kasih atas semua pengajaran, inspirasi dan petuah-petuah darimu pak Min. Semoga saya konsisten menjalankannya dan tetap dalam keridhoan serta keberkahan Allah.

Selamat Hari Guru Nasional 2021 Untuk Guru-Guru Mentari Dan Indonesia.